Newsbisnis.id. Jakarta
Kapolri memang telah mengeluarkan maklumat. Namun dalam pandangan dia, maklumat tersebut hanya sebatas pengumuman biasa. Bukan sebuah perintah tegas yang berkekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi pada pelanggar.
“Maklumat itu sejatinya pengumuman tidak lebih dari pada itu. Jadi kalau kita lihat isi maklumat Kapolri itu, bukan suatu perintah yang tegas dan juga tidak ada sanksinya,” kata Yusril.
“Kita lihat misalnya pada perwira polisi yang menyelenggarakan pesta perkawinan kan tidak bisa diambil tindakan apa-apa kepada polisi itu kecuali dia dicopot dari jabatan sebagai Kapolsek. Tapi enggak ada dia melakukan indisipliner. Enggak ketemu. Apalagi itu mau diberlakukan kepada masyarakat,” imbuhnya.
Dengan demikian, jika kemudian ada resistensi dari masyarakat ketika aparat penegak hukum menjalankan tugasnya, maka aparat penegak hukum tidak punya dasar hukum untuk menguatkan tindakannya.
“Sehingga kalau terjadi perlawanan, orang kumpul ramai-ramai mau dagang atau ojek, dibubarkan polisi terus mereka melakukan perlawanan agak susah polisi mengatakan apa dasar hukum mereka melakukan tindakan pelarangan itu. Karena yang berlaku itu PSBB, bukan karantina wilayah. Jadi tidak ada dasar hukumnya. Itu titik lemah betul dari PP tentang PSBB,” paparnya.
Memang dia mengakui bahwa ada sanksi pidana dan denda dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Misalnya Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Terkait Karantina Kesehatan di mana pelanggar terancam pidana kurungan penjara maksimal 1 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Namun, sanksi itu hanya bisa diberikan jika diberlakukan karantina wilayah. Bukan PSBB. “Konteksnya karantina wilayah. Bukan dalam konteks PSBB. PSBB tidak ada sanksi,” tandasnya.